24/09/2025

Kopinya Para Sufi (Cerpen)

Di sebuah pondok kecil di pinggir desa, berkumpullah sekelompok sufi setiap petang. Mereka duduk melingkar di sekitar meja kayu tua, dengan secangkir kopi hangat di tangan masing-masing. Aroma kopi yang menguar seakan menjadi pengikat tali persaudaraan mereka, dan setiap tegukan membawa kedamaian yang dalam. “Kopi ini bukan sekadar minuman,” kata salah satu sufi bernama Hasan sambil tersenyum. “Ia adalah pelajaran. Seperti hidup, kopi ini pahit jika diseruput tanpa kesabaran, tapi ia akan terasa manis bagi mereka yang mampu menghargai prosesnya.” Para sufi pun saling bertukar cerita. Ada yang berbagi tentang ujian hidup yang baru saja dilewati, ada yang menceritakan pengalaman menemukan kedamaian dalam kegelisahan, dan ada pula yang berbagi ilmu tentang ketulusan hati. Salah seorang dari mereka, Sulaiman, membuka pembicaraan. “Kalian tahu, dulu aku pernah marah dan kecewa pada hidup. Tapi ketika aku belajar memaknai setiap rasa, seperti kopi ini, aku mengerti bahwa segala kepahitan itu sebenarnya adalah guru terbaik.” Hasan mengangguk. “Benar. Kopi yang kita seduh dengan sabar mengajarkan kita bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Ia tumbuh perlahan, dari ketekunan dan keikhlasan.” Malam semakin larut, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Secangkir kopi terakhir diseruput dengan khidmat, membawa ketenangan dalam jiwa mereka. “Di sinilah letak keindahan hidup,” kata Hasan menutup pertemuan. “Ketika kita bisa menerima semua rasa—pahit dan manis—dengan hati yang terbuka, kita menjadi lebih dari sekadar manusia biasa. Kita menjadi sufi sejati, yang selalu mencari cahaya dalam gelap.” Mereka tersenyum dan diam, membiarkan kopi dan suasana membawa kedamaian ke dalam setiap jiwa. --- Karya : em shalahudin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perdebatan tentang Tuhan (Monolog)