10/11/2025

Perjalanan (PUISI)

Dalam gelap aku temukan sebuah tempat Begitu asing dan sangat mempesona Auranya dihiasi dengan cahaya yang entah berwarna apa Sekelilingku adalah perisai halus bercahaya kelam Kemana aku harus berjalan?

07/10/2025

NUAIMAN 'SANG PENGHIBUR' (Hikayat)

Kisah ini diceritakan dari Ibnu Majah, bahwa suatu hari Nu'aiman pernah diajak berdagang oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq bersama sahabat yang lain untuk pergi ke negeri Syam (daerah maju pada masanya). Salah satunya ada Suwaibith bin Harmalah. Saat hari mulai menjelang siang, Nu'aiman yang sudah lapar menghampiri Suwaibith yang saat itu ditugaskan untuk menjaga makanan. Suwaibith dengan sikap penuh amanahnya tentu menolak saat Nu'aiman hendak meminta satu potong roti untuknya. Hingga Nu'aiman berkata, "Kalau memang begitu, artinya kamu setuju saya buat ulah,". Nu'aiman pun berjalan ke pasar dan mencari-cari wilayah yang menjual hamba sahaya. Pada zaman nabi dulu, hamba sahaya biasanya dijual untuk menjadi pekerja. Hingga kemudian Nu'aiman berkata kepada orang-orang di sana bahwa ia memiliki hamba sahaya dengan harga yang sangat murah. Nu'aiman juga menyebutkan, hamba sahaya yang dimilikinya hanya memiliki satu kekurangan yakni berteriak bahwa dirinya orang yang merdeka bukanlah hamba sahaya. Mendengar itu, orang-orang di sana pun tertarik dan Nu'aiman mengajaknya mengadap Suwaibith. "Itu ada orang yang berdiri sedang menjaga makanan, itu hamba sahaya saya," kata Nu'aiman pada mereka. Mereka pun memberikan uang pada Nu'aiman dan menghampiri Suwaibith untuk menangkapnya. Suwaibith yang terkejut kemudian berkata, "Saya bukan hamba sahaya, saya orang merdeka," yang hanya dibalas oleh orang-orang tersebut bahwa mereka sudah tahu kekurangannya itu. Selang berapa waktu, Abu Bakar Ash-Shiddiq pun kembali dan mencari-cari Suwaibith yang dijawab oleh Nu'aiman kemudian, "Sudah saya jual, wahai Abu Bakar," Nu'aiman pun menceritakan dengan jujur apa yang terjadi pada Abu Bakar, kemudian Suwaibith kembali ditebus oleh Abu Bakar dari orang-orang Syam itu. Sampailah kisah tersebut ke telinga Rasulullah SAW. Kisah ini yang membuat Rasulullah tertawa hingga menunjukkan gigi gerahamnya di depan para sahabat. Perawi hadits mengatakan, bahkan setelah satu tahun berlalu, Rasulullah SAW pun selalu menceritakan kisah Nu'aiman dan Suwaibith ini kepada para tamunya. Sumber : https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5819789/kisah-nuaiman-sahabat-paling-usil-tapi-selalu-bikin-rasul-tertawa.

05/10/2025

NGADU BAKO JEUNG NGOPI (NGANDA)

Ngadu bako téh lain saukur ngadu haseup, tapi ngadu rasa. Dina haseup bako, aya hariring waktu, antara hirup jeung reureuh. Jalma Sunda kolot mindeng nyebut, “Hirup téh kawas bako, lamun teu dijieun haneut, leungit rasa na.” Ngadu bako jadi simbol yén manusa kudu ngabagi haneutna kahirupan. Lamun bako téh haneut di leungeun, silaturahmi téh haneut di hate. Di dinya aya rasa babarayaan anu henteu bisa digantikeun ku harta. Dina obrolan bako, bédana umur jeung pangkat lebur jadi sarua, sabab sadayana nyedot rasa hirup tina batubara nu sarua: “kasabaran jeung pangarti”. Sasaurang nyebut, “Teu aya pikiran jero lamun teu aya kopi hideung.” Ngopi téh tradisi mikir, ngarasakeun waktu. Jalma Sunda percaya yén kopi téh lain ngan ukur inuman, tapi cara pikeun nyaring waktu, gantebkeun rasa, ngirining pamikiran. Lamun ngadu bako ngahaneutkeun silaturahmi, ngopi ngahirupan rasa eling. Dina ngopi, urang ngarasakeun pait anu ngandung nikmat, siga hirup anu pinuh ku cobaan tapi ogé pinuh ku pangajaran. Ngadu bako jeung ngopi téh saperti dua sisi hirup: lahir jeung batin, jasad jeung rasa. Ngadu bako ngajarkeun sauyunan, sedengkeun ngopi ngajarkeun kasadaran. Dina dua éta tradisi basajan, aya ajén filosofi Sunda anu nyebut yén “hirup kudu ngalir, tapi kudu aya maksudna.” Dina catur antara dua dulur anu keur diuk di saung éta, teu aya pidato panjang, teu aya nasihat resmi. Tapi unggal seruput kopi jeung sedotan bako jadi isarat kahirupan: Ngadenge leuwih ti nyarita. Ngahargaan rasa batur. Ngahudang eling kana waktu. Ngahaneutkeun haté ku kabeneran. Ngadu bako jeung ngopi téh sabenerna cermin tina kearifan Sunda: ngarasa, ngarti, jeung silih asih. Dina tradisi basajan, urang diajar yén kabagjaan teu kudu datang tina hal gede cukup tina rasa nyambung antara manusa jeung manusa, antara rasa jeung eling, antara hirup jeung kahirupan. ***em_shalahudin

01/10/2025

Saya dan Dia (Cerpen)

Suatu hari saya bertanya kepada dia, "Apa yang membuatmu yakin?", lalu dia menjawab dengan spontan, "Yakin karena hatiku lurus, percaya akan yang terjadi meskipun aku tak tau dimana letak yakin itu". Kemudian saya pun takjub dengan jawaban murni dari dia yang konon katanya tidak mengetahui apa-apa. Sebenarnya saya mempunyai banyak tanya dalam hati kepada dia, namun saya mencoba memilihnya dengan alasan yang begitu sombong dan congkaknya, karena saya berasumsi bahwa saya telah mempunyai banyak pengetahuan dan ilmu. Diapun bertanya, "Apa ilmu itu penting, lalu untuk siapa?", dan saya mencoba memahami pertanyaan yang dia sampaikan. Sesaat menghela nafas agar peredaran darah di tubuh ini menjadi rilek. Saya mengatakan bahwa ilmu adalah ciptaan Tuhan yang menjadikan manusia beradab dan mampu mengejewantahkan nilai katuhanan di muka bumi, dan manusialah yang seyogyanya menggunakan manfaat dari ilmu itu. Saya mencoba memahami alur berfikir dia, sepertinya dia ingin mengatakan bahwa banyak dari para ahli ilmu yang pada prakteknya tidak mencerminkan ilmu yang dimilikinya. Banyak orang pintar dan cerdas tapi tidak menjamin akan bersikap baik dan beradab. Akhirnya dia pamit dan saya pun terdiam.

25/09/2025

Perdebatan tentang Tuhan (Monolog)

(Seorang tokoh berdiri di tengah panggung, lampu redup. Ia berjalan pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Kadang suara lirih, kadang meninggi penuh emosi.) Tokoh: Tuhan... (diam sejenak, menatap ke atas) Entah mengapa, semakin aku mencari-Mu, semakin jauh Kau bersembunyi. Orang bilang, Kau ada di langit. Tapi ketika aku menengadah, yang kulihat hanya bintang mati dan bulan yang dingin. Orang bilang, Kau ada di hatiku. Tapi ketika kuintip ke dalam dada, yang kutemukan hanya keraguan... dan luka. (berjalan gelisah) Aku lelah berdebat dengan diriku sendiri. Yang satu berkata: "Tuhan itu nyata! Lihatlah alam, lihatlah keajaiban hidup." Tapi sisi lain membalas: "Kalau nyata, mengapa begitu banyak tangis? Mengapa doa yang kusampaikan jatuh bagai batu ke dasar sumur?" (berhenti, menatap kursi kosong seolah ada lawan bicara) Tuhan... Apakah Kau butuh aku untuk percaya, atau justru akulah yang butuh percaya kepada-Mu? Kadang aku iri pada mereka yang yakin, yang bisa menutup mata dengan tenang saat sujud. Aku? Aku terjebak di tengah. Antara rindu untuk dekat, dan amarah karena Kau tak kunjung menjawab. (suara mulai meninggi) Hei, Tuhan! Jika Kau benar-benar ada, bisakah Kau sedikit saja... sedikit saja... menampakkan diri? Aku tidak butuh surga, tidak butuh mukjizat. Hanya satu tanda... sekecil debu... agar aku tahu Kau mendengarku. (lalu suara melemah, hampir berbisik) Tapi mungkin... justru dalam diam-Mu itulah jawabannya. Bahwa Kau ingin aku terus mencari, terus bertanya, terus gelisah... Sebab gelisah adalah doa yang paling jujur, bukan? (tersenyum getir, menutup mata) Maka biarlah perdebatan ini tak pernah usai. Karena mungkin... di situlah aku menemukan-Mu. Dalam rindu yang tak pernah selesai. (Lampu meredup, tokoh menunduk, tirai perlahan menutup.) ----Karya : em shalahudin

Sang Pendosa Menjadi Kekasih Tuhan (Hikayat)

Alkisah, di sebuah negeri, hiduplah seorang lelaki bernama Ubay. Ia adalah ahli maksiat yang tak pernah kapok. Setiap kali bertaubat, keesokan harinya ia kembali tenggelam dalam dosa. Siang ia berdusta, malam ia berpesta. Mulutnya penuh kata kotor, tangannya ringan mengambil hak orang lain, matanya tak pernah lepas dari pandangan haram. Orang-orang berkata: “Ubay adalah manusia celaka, neraka sudah menantinya.” Bahkan para ulama di kotanya berputus asa melihatnya. Namun ada satu rahasia yang tak diketahui orang: setiap kali selesai berbuat dosa, Ubay menangis di dalam kamarnya, lalu berdoa dengan suara parau: “Ya Allah, aku hina. Aku tahu aku salah. Aku bertaubat, tapi aku kembali lagi. Jika Engkau ingin menghinakanku, aku pantas. Namun janganlah Engkau jauh dariku, karena tiada pintu selain pintu-Mu.” Begitulah Ubay, jatuh bangun dalam dosa, namun hatinya selalu kembali mengetuk pintu ampunan. Tahun demi tahun berlalu. Pada suatu malam, ketika pesta maksiat sedang berlangsung, Ubay merasa dadanya sesak. Ia meninggalkan keramaian, berjalan tertatih menuju masjid yang sepi. Di dalam kegelapan, ia rebah bersujud. Air matanya bercucuran, suaranya bergetar: “Tuhanku, aku datang lagi dengan dosa yang sama. Aku malu, aku hina, aku penuh noda. Tapi demi Engkau yang Maha Pengasih, jangan usir aku dari sisi-Mu.” Malam itu, Ubay tak pernah bangun lagi dari sujudnya. Ia wafat dalam tangis taubat. Keesokan harinya, penduduk kota gempar. Mereka mengira Allah akan menurunkan murka atas jenazahnya. Namun seorang wali besar bermimpi melihat Ubay disambut cahaya di alam barzakh. Malaikat berkata: “Inilah hamba yang selalu kembali kepada Tuhannya, meski jatuh dalam dosa. Ia tak pernah sombong dengan amal, karena ia tak punya amal. Ia hanya membawa hati yang hancur, rindu, dan tangis. Maka Allah menerimanya sebagai kekasih.” Maka orang-orang terperangah. Mereka belajar bahwa kasih sayang Allah tak terhalang oleh tebalnya dosa, selama hati terus kembali mengetuk pintu-Nya. --- Karya : Nona Robi'ah

24/09/2025

Syariat, Toriqot, Hakikat, dan Makrifat (Hikayat)

Maka tersebutlah kisah pada suatu zaman, di sebuah negeri nun jauh di seberang laut, hiduplah seorang santri muda bernama Nuaiman. Adapun ia seorang yang rajin menuntut ilmu, tiada henti berguru dari satu kiai ke kiai yang lain, sebab hatinya rindu hendak mengenal Tuhan Rabbul ‘Alamin. Maka mula-mula sampailah ia kepada seorang alim besar. Berkata sang guru: “Hai Nuaiman, syariat itu umpama pakaian bagi tubuh. Barang siapa tiada bersyariat, niscaya telanjanglah ia di hadapan Allah Ta‘ala. Maka tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat, berpuasalah dengan benar, dan jagalah adab pada sesama.” Maka Nuaiman pun berpegang teguh pada syariat, ibarat perahu yang membawanya ke samudera. Setelah beberapa tahun, hati Nuaiman masih juga bergetar. Maka pergilah ia mencari guru yang lain, yakni seorang mursyid arif billah. Berkata mursyid itu: “Hai Nuaiman, syariat itu perahu, toriqot itulah layar yang membawanya berlayar. Barang siapa berjalan di jalan toriqot, maka hendaklah ia berdzikir, bermujahadah, dan menyerahkan diri kepada bimbingan guru. Karena tanpa jalan, perahu tiada bergerak.” Maka Nuaiman pun bersuluk, berdzikir siang dan malam, menundukkan hawa nafsunya, sehingga ia berlayar di samudera ruhani. Setelah beberapa lama, terbukalah sedikit tabir pada hati Nuaiman. Maka dilihatnya cahaya di dalam kalbunya, hingga ia terheran-heran. Berkata ia kepada gurunya: “Wahai tuan guru, inikah tujuan hamba? Cahaya apakah yang datang ini?” Maka jawab sang mursyid sambil tersenyum: “Hai anakku Nuaiman, itulah hakikat. Ketahui olehmu, tiada sesuatu pun yang berdiri dengan dirinya, melainkan Allah jua yang berbuat. Engkau, aku, dan segala yang ada, hanyalah bayangan belaka. Yang Hakiki hanyalah Dia.” Maka menangislah Nuaiman, habis luluh segala keakuan dalam dirinya. Maka setelah sekian lama, sampailah Nuaiman kepada maqam makrifat. Adapun ia memandang segala makhluk dengan kasih, memaafkan yang memusuhi, dan bersyukur atas yang menyayangi. Maka tiada ia melihat sesuatu, melainkan di situ rahasia Allah Ta‘ala. Berkata gurunya: “Hai Nuaiman, ketahuilah olehmu: syariat itu berdiri, toriqot itu berjalan, hakikat itu melihat, makrifat itu sampai. Maka keempatnya bukan bersilang jalan, melainkan satu bulat yang sempurna.” Maka semenjak itu, hidup Nuaiman sederhana. Adapun ia tetap mengerjakan syariat, tetapi hatinya senantiasa hadir bersama Allah. Orang banyak melihat wajahnya sejuk, tutur katanya lembut, dan daripadanya memancar cahaya cinta. Maka tamatlah hikayat ini, mudah-mudahan jadi ibarat bagi orang yang mencari jalan, agar tiada terputus antara syariat, toriqot, hakikat, dan makrifat. --- Karya :Nona Robi'ah

Perjalanan (PUISI)