25/09/2025

Perdebatan tentang Tuhan (Monolog)

(Seorang tokoh berdiri di tengah panggung, lampu redup. Ia berjalan pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Kadang suara lirih, kadang meninggi penuh emosi.) Tokoh: Tuhan... (diam sejenak, menatap ke atas) Entah mengapa, semakin aku mencari-Mu, semakin jauh Kau bersembunyi. Orang bilang, Kau ada di langit. Tapi ketika aku menengadah, yang kulihat hanya bintang mati dan bulan yang dingin. Orang bilang, Kau ada di hatiku. Tapi ketika kuintip ke dalam dada, yang kutemukan hanya keraguan... dan luka. (berjalan gelisah) Aku lelah berdebat dengan diriku sendiri. Yang satu berkata: "Tuhan itu nyata! Lihatlah alam, lihatlah keajaiban hidup." Tapi sisi lain membalas: "Kalau nyata, mengapa begitu banyak tangis? Mengapa doa yang kusampaikan jatuh bagai batu ke dasar sumur?" (berhenti, menatap kursi kosong seolah ada lawan bicara) Tuhan... Apakah Kau butuh aku untuk percaya, atau justru akulah yang butuh percaya kepada-Mu? Kadang aku iri pada mereka yang yakin, yang bisa menutup mata dengan tenang saat sujud. Aku? Aku terjebak di tengah. Antara rindu untuk dekat, dan amarah karena Kau tak kunjung menjawab. (suara mulai meninggi) Hei, Tuhan! Jika Kau benar-benar ada, bisakah Kau sedikit saja... sedikit saja... menampakkan diri? Aku tidak butuh surga, tidak butuh mukjizat. Hanya satu tanda... sekecil debu... agar aku tahu Kau mendengarku. (lalu suara melemah, hampir berbisik) Tapi mungkin... justru dalam diam-Mu itulah jawabannya. Bahwa Kau ingin aku terus mencari, terus bertanya, terus gelisah... Sebab gelisah adalah doa yang paling jujur, bukan? (tersenyum getir, menutup mata) Maka biarlah perdebatan ini tak pernah usai. Karena mungkin... di situlah aku menemukan-Mu. Dalam rindu yang tak pernah selesai. (Lampu meredup, tokoh menunduk, tirai perlahan menutup.) ----Karya : em shalahudin

Sang Pendosa Menjadi Kekasih Tuhan (Hikayat)

Alkisah, di sebuah negeri, hiduplah seorang lelaki bernama Ubay. Ia adalah ahli maksiat yang tak pernah kapok. Setiap kali bertaubat, keesokan harinya ia kembali tenggelam dalam dosa. Siang ia berdusta, malam ia berpesta. Mulutnya penuh kata kotor, tangannya ringan mengambil hak orang lain, matanya tak pernah lepas dari pandangan haram. Orang-orang berkata: “Ubay adalah manusia celaka, neraka sudah menantinya.” Bahkan para ulama di kotanya berputus asa melihatnya. Namun ada satu rahasia yang tak diketahui orang: setiap kali selesai berbuat dosa, Ubay menangis di dalam kamarnya, lalu berdoa dengan suara parau: “Ya Allah, aku hina. Aku tahu aku salah. Aku bertaubat, tapi aku kembali lagi. Jika Engkau ingin menghinakanku, aku pantas. Namun janganlah Engkau jauh dariku, karena tiada pintu selain pintu-Mu.” Begitulah Ubay, jatuh bangun dalam dosa, namun hatinya selalu kembali mengetuk pintu ampunan. Tahun demi tahun berlalu. Pada suatu malam, ketika pesta maksiat sedang berlangsung, Ubay merasa dadanya sesak. Ia meninggalkan keramaian, berjalan tertatih menuju masjid yang sepi. Di dalam kegelapan, ia rebah bersujud. Air matanya bercucuran, suaranya bergetar: “Tuhanku, aku datang lagi dengan dosa yang sama. Aku malu, aku hina, aku penuh noda. Tapi demi Engkau yang Maha Pengasih, jangan usir aku dari sisi-Mu.” Malam itu, Ubay tak pernah bangun lagi dari sujudnya. Ia wafat dalam tangis taubat. Keesokan harinya, penduduk kota gempar. Mereka mengira Allah akan menurunkan murka atas jenazahnya. Namun seorang wali besar bermimpi melihat Ubay disambut cahaya di alam barzakh. Malaikat berkata: “Inilah hamba yang selalu kembali kepada Tuhannya, meski jatuh dalam dosa. Ia tak pernah sombong dengan amal, karena ia tak punya amal. Ia hanya membawa hati yang hancur, rindu, dan tangis. Maka Allah menerimanya sebagai kekasih.” Maka orang-orang terperangah. Mereka belajar bahwa kasih sayang Allah tak terhalang oleh tebalnya dosa, selama hati terus kembali mengetuk pintu-Nya. --- Karya : Nona Robi'ah

24/09/2025

Syariat, Toriqot, Hakikat, dan Makrifat (Hikayat)

Maka tersebutlah kisah pada suatu zaman, di sebuah negeri nun jauh di seberang laut, hiduplah seorang santri muda bernama Nuaiman. Adapun ia seorang yang rajin menuntut ilmu, tiada henti berguru dari satu kiai ke kiai yang lain, sebab hatinya rindu hendak mengenal Tuhan Rabbul ‘Alamin. Maka mula-mula sampailah ia kepada seorang alim besar. Berkata sang guru: “Hai Nuaiman, syariat itu umpama pakaian bagi tubuh. Barang siapa tiada bersyariat, niscaya telanjanglah ia di hadapan Allah Ta‘ala. Maka tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat, berpuasalah dengan benar, dan jagalah adab pada sesama.” Maka Nuaiman pun berpegang teguh pada syariat, ibarat perahu yang membawanya ke samudera. Setelah beberapa tahun, hati Nuaiman masih juga bergetar. Maka pergilah ia mencari guru yang lain, yakni seorang mursyid arif billah. Berkata mursyid itu: “Hai Nuaiman, syariat itu perahu, toriqot itulah layar yang membawanya berlayar. Barang siapa berjalan di jalan toriqot, maka hendaklah ia berdzikir, bermujahadah, dan menyerahkan diri kepada bimbingan guru. Karena tanpa jalan, perahu tiada bergerak.” Maka Nuaiman pun bersuluk, berdzikir siang dan malam, menundukkan hawa nafsunya, sehingga ia berlayar di samudera ruhani. Setelah beberapa lama, terbukalah sedikit tabir pada hati Nuaiman. Maka dilihatnya cahaya di dalam kalbunya, hingga ia terheran-heran. Berkata ia kepada gurunya: “Wahai tuan guru, inikah tujuan hamba? Cahaya apakah yang datang ini?” Maka jawab sang mursyid sambil tersenyum: “Hai anakku Nuaiman, itulah hakikat. Ketahui olehmu, tiada sesuatu pun yang berdiri dengan dirinya, melainkan Allah jua yang berbuat. Engkau, aku, dan segala yang ada, hanyalah bayangan belaka. Yang Hakiki hanyalah Dia.” Maka menangislah Nuaiman, habis luluh segala keakuan dalam dirinya. Maka setelah sekian lama, sampailah Nuaiman kepada maqam makrifat. Adapun ia memandang segala makhluk dengan kasih, memaafkan yang memusuhi, dan bersyukur atas yang menyayangi. Maka tiada ia melihat sesuatu, melainkan di situ rahasia Allah Ta‘ala. Berkata gurunya: “Hai Nuaiman, ketahuilah olehmu: syariat itu berdiri, toriqot itu berjalan, hakikat itu melihat, makrifat itu sampai. Maka keempatnya bukan bersilang jalan, melainkan satu bulat yang sempurna.” Maka semenjak itu, hidup Nuaiman sederhana. Adapun ia tetap mengerjakan syariat, tetapi hatinya senantiasa hadir bersama Allah. Orang banyak melihat wajahnya sejuk, tutur katanya lembut, dan daripadanya memancar cahaya cinta. Maka tamatlah hikayat ini, mudah-mudahan jadi ibarat bagi orang yang mencari jalan, agar tiada terputus antara syariat, toriqot, hakikat, dan makrifat. --- Karya :Nona Robi'ah

Antara Kosong (Pantun)

Di tepi danau cahaya bergetar, ombak berlari menuju tepian. Kosong terasa hening membakar, menyisakan tanya siapa dirian. Bunga merekah di kala pagi, harum menebar tanpa diminta. Kosong bukan sekadar sunyi, ia rahasia tanpa bentuk rupa. Lalang bergoyang diterpa angin, suara semesta pun ikut berdendang. Kosong adalah pintu hening, tempat Sang Ada merajut terang. Burung terbang ke ufuk barat, bayang hilang ditelan mega. Kosong membawa rasa yang dekat, meski tiada, justru penuh makna. Mentari jatuh di kaki senja, warna langit larut berjelaga. Kosong mengajar jiwa membaca, bahwa hakikat bukanlah kata. Bintang berkelip di langit kelam, cahaya kecil menuntun arah. Kosong menyatu dengan alam, antara tiada dan ada berpadu indah. --- Karya :em shalahudin

Kopinya Para Sufi (Cerpen)

Di sebuah pondok kecil di pinggir desa, berkumpullah sekelompok sufi setiap petang. Mereka duduk melingkar di sekitar meja kayu tua, dengan secangkir kopi hangat di tangan masing-masing. Aroma kopi yang menguar seakan menjadi pengikat tali persaudaraan mereka, dan setiap tegukan membawa kedamaian yang dalam. “Kopi ini bukan sekadar minuman,” kata salah satu sufi bernama Hasan sambil tersenyum. “Ia adalah pelajaran. Seperti hidup, kopi ini pahit jika diseruput tanpa kesabaran, tapi ia akan terasa manis bagi mereka yang mampu menghargai prosesnya.” Para sufi pun saling bertukar cerita. Ada yang berbagi tentang ujian hidup yang baru saja dilewati, ada yang menceritakan pengalaman menemukan kedamaian dalam kegelisahan, dan ada pula yang berbagi ilmu tentang ketulusan hati. Salah seorang dari mereka, Sulaiman, membuka pembicaraan. “Kalian tahu, dulu aku pernah marah dan kecewa pada hidup. Tapi ketika aku belajar memaknai setiap rasa, seperti kopi ini, aku mengerti bahwa segala kepahitan itu sebenarnya adalah guru terbaik.” Hasan mengangguk. “Benar. Kopi yang kita seduh dengan sabar mengajarkan kita bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Ia tumbuh perlahan, dari ketekunan dan keikhlasan.” Malam semakin larut, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Secangkir kopi terakhir diseruput dengan khidmat, membawa ketenangan dalam jiwa mereka. “Di sinilah letak keindahan hidup,” kata Hasan menutup pertemuan. “Ketika kita bisa menerima semua rasa—pahit dan manis—dengan hati yang terbuka, kita menjadi lebih dari sekadar manusia biasa. Kita menjadi sufi sejati, yang selalu mencari cahaya dalam gelap.” Mereka tersenyum dan diam, membiarkan kopi dan suasana membawa kedamaian ke dalam setiap jiwa. --- Karya : em shalahudin

23/09/2025

Gus Jakfar (Cerpen)

Oleh A. Mustofa Bisri Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu. "Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya." "Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?' Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya." "Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal." "Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar." "Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara. "Waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?' Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi." "Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan. "Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu." *** Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya. "Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?" "Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu," kata Lik Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah." "Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau." Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut. Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan." "Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah." "Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau." "O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja. "Kalian ingat, saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing." "Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk." 'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?' 'Kiai Tawakkal.' 'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.' "Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu." "Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah." Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!" "Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka." "Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya." "Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang." "Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini. 'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!' Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'. Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan". "Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk." "Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah." 'Mas, sudah larut malam,'tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya." "Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.' Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara. 'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?' Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak' Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui. 'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini." "Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya. 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.' 'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru. 'Mana saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.' Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri." Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya. Rembang, Mei 2002 A. MUSTOFA BISRI adalah Wakil Rais Aam PBNU. Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin. Dikenal sebagai penyair, pelukis, cerpenis dan kolumnis. “Gus Jakfar” adalah cerpen terbaik harian Kompas tahun 2004. Sumber: https://www.nu.or.id/cerpen/gus-jakfar-GHshx ___ Download NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap! https://nu.or.id/superapp (Android/iOS)

Peringatan - Wiji Thukul (Puisi)

Bila rakyat berani mengeluh Itu artinya sudah gawat Dan bila omongan penguasa Tidak boleh dibantah Kebenaran pasti terancam Apabila usul ditolak tanpa ditimbang Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan Dituduh subvertif dan mengganggu keamanan Maka hanya ada satu kata : LAWAN!.  https://www.detik.com/jabar/berita/d-6692352/13-puisi-populer-karya-penyair-legendaris-indonesia

Sunyi Sunyata (Puisi)

Di ruang hening, sunyi berselimut kabut Angin berbisik lirih, membawa rindu terpendam Sunyata menyapa, dalam diam yang menggunung Jiwa merambah lorong-lorong sepi tanpa tepi Langit kelam tak bertepi, bintang-bintang pun meredup Bumi membisu, tak lagi bersuara Kita adalah partikel debu dalam jagat sunyi Mencari makna di antara nada-nada yang tak terucap Sunyi bukanlah kesendirian Sunyata bukanlah kekosongan Ia adalah samudra kesadaran Tempat semua pertanyaan berlabuh Di sini, waktu pun lunglai Masa lalu dan nanti melebur menjadi satu Dalam hening, kita mendengar denyut alam raya Dalam kosong, kita menemukan diri yang sejati Sunyi sunyata adalah cermin Di mana kita berhadapan dengan diri sendiri Tanpa topeng, tanpa kata dan tanpa makna Hanya ada kejujuran yang membisu Maka biarlah kita tenggelam dalam sunyi Merangkul sunyata tanpa rasa takut Karena di balik kesenyapan yang abadi Terdapat cahaya yang tak pernah padam *20 Mei 2025 * Karya: Em Salahudin

Perjalanan (PUISI)