"Selamat datang di 'KopiPaitNuaiman'. Seperti secangkir kopi yang pahit namun menghangatkan, blog ini adalah ruang untuk merefleksikan kehidupan. Di sini, kami menuliskan cerita, pemikiran, dan pelajaran yang seringkali terasa pahit seperti kopi tubruk, tetapi justru di situlah kekuatannya. Mari kita nikmati bersama, satu suapan kata demi kata."
25/09/2025
Perdebatan tentang Tuhan (Monolog)
(Seorang tokoh berdiri di tengah panggung, lampu redup. Ia berjalan pelan,
seolah berbicara pada dirinya sendiri. Kadang suara lirih, kadang meninggi
penuh emosi.)
Tokoh:
Tuhan... (diam sejenak, menatap ke atas)
Entah mengapa, semakin aku mencari-Mu, semakin jauh Kau bersembunyi. Orang
bilang, Kau ada di langit. Tapi ketika aku menengadah, yang kulihat hanya
bintang mati dan bulan yang dingin. Orang bilang, Kau ada di hatiku. Tapi ketika
kuintip ke dalam dada, yang kutemukan hanya keraguan... dan luka.
(berjalan gelisah)
Aku lelah berdebat dengan diriku sendiri. Yang satu berkata: "Tuhan itu nyata!
Lihatlah alam, lihatlah keajaiban hidup." Tapi sisi lain membalas: "Kalau nyata,
mengapa begitu banyak tangis? Mengapa doa yang kusampaikan jatuh bagai batu ke
dasar sumur?"
(berhenti, menatap kursi kosong seolah ada lawan bicara)
Tuhan... Apakah Kau butuh aku untuk percaya, atau justru akulah yang butuh
percaya kepada-Mu? Kadang aku iri pada mereka yang yakin, yang bisa menutup mata
dengan tenang saat sujud. Aku? Aku terjebak di tengah. Antara rindu untuk dekat,
dan amarah karena Kau tak kunjung menjawab.
(suara mulai meninggi)
Hei, Tuhan! Jika Kau benar-benar ada, bisakah Kau sedikit saja... sedikit
saja... menampakkan diri? Aku tidak butuh surga, tidak butuh mukjizat. Hanya
satu tanda... sekecil debu... agar aku tahu Kau mendengarku.
(lalu suara melemah, hampir berbisik)
Tapi mungkin... justru dalam diam-Mu itulah jawabannya. Bahwa Kau ingin aku
terus mencari, terus bertanya, terus gelisah... Sebab gelisah adalah doa yang
paling jujur, bukan?
(tersenyum getir, menutup mata)
Maka biarlah perdebatan ini tak pernah usai. Karena mungkin... di situlah aku
menemukan-Mu. Dalam rindu yang tak pernah selesai.
(Lampu meredup, tokoh menunduk, tirai perlahan menutup.)
----Karya : em shalahudin
Sang Pendosa Menjadi Kekasih Tuhan (Hikayat)
Alkisah, di sebuah negeri, hiduplah seorang lelaki bernama Ubay. Ia adalah ahli
maksiat yang tak pernah kapok. Setiap kali bertaubat, keesokan harinya ia
kembali tenggelam dalam dosa. Siang ia berdusta, malam ia berpesta. Mulutnya
penuh kata kotor, tangannya ringan mengambil hak orang lain, matanya tak pernah
lepas dari pandangan haram. Orang-orang berkata: “Ubay adalah manusia celaka,
neraka sudah menantinya.” Bahkan para ulama di kotanya berputus asa melihatnya.
Namun ada satu rahasia yang tak diketahui orang: setiap kali selesai berbuat
dosa, Ubay menangis di dalam kamarnya, lalu berdoa dengan suara parau: “Ya
Allah, aku hina. Aku tahu aku salah. Aku bertaubat, tapi aku kembali lagi. Jika
Engkau ingin menghinakanku, aku pantas. Namun janganlah Engkau jauh dariku,
karena tiada pintu selain pintu-Mu.” Begitulah Ubay, jatuh bangun dalam dosa,
namun hatinya selalu kembali mengetuk pintu ampunan. Tahun demi tahun berlalu.
Pada suatu malam, ketika pesta maksiat sedang berlangsung, Ubay merasa dadanya
sesak. Ia meninggalkan keramaian, berjalan tertatih menuju masjid yang sepi. Di
dalam kegelapan, ia rebah bersujud. Air matanya bercucuran, suaranya bergetar:
“Tuhanku, aku datang lagi dengan dosa yang sama. Aku malu, aku hina, aku penuh
noda. Tapi demi Engkau yang Maha Pengasih, jangan usir aku dari sisi-Mu.” Malam
itu, Ubay tak pernah bangun lagi dari sujudnya. Ia wafat dalam tangis taubat.
Keesokan harinya, penduduk kota gempar. Mereka mengira Allah akan menurunkan
murka atas jenazahnya. Namun seorang wali besar bermimpi melihat Ubay disambut
cahaya di alam barzakh. Malaikat berkata: “Inilah hamba yang selalu kembali
kepada Tuhannya, meski jatuh dalam dosa. Ia tak pernah sombong dengan amal,
karena ia tak punya amal. Ia hanya membawa hati yang hancur, rindu, dan tangis.
Maka Allah menerimanya sebagai kekasih.” Maka orang-orang terperangah. Mereka
belajar bahwa kasih sayang Allah tak terhalang oleh tebalnya dosa, selama hati
terus kembali mengetuk pintu-Nya.
--- Karya : Nona Robi'ah
24/09/2025
Syariat, Toriqot, Hakikat, dan Makrifat (Hikayat)
Maka tersebutlah kisah pada suatu zaman, di sebuah negeri nun jauh di seberang
laut, hiduplah seorang santri muda bernama Nuaiman. Adapun ia seorang yang rajin
menuntut ilmu, tiada henti berguru dari satu kiai ke kiai yang lain, sebab
hatinya rindu hendak mengenal Tuhan Rabbul ‘Alamin. Maka mula-mula sampailah ia
kepada seorang alim besar. Berkata sang guru: “Hai Nuaiman, syariat itu umpama
pakaian bagi tubuh. Barang siapa tiada bersyariat, niscaya telanjanglah ia di
hadapan Allah Ta‘ala. Maka tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat, berpuasalah
dengan benar, dan jagalah adab pada sesama.” Maka Nuaiman pun berpegang teguh
pada syariat, ibarat perahu yang membawanya ke samudera. Setelah beberapa tahun,
hati Nuaiman masih juga bergetar. Maka pergilah ia mencari guru yang lain, yakni
seorang mursyid arif billah. Berkata mursyid itu: “Hai Nuaiman, syariat itu
perahu, toriqot itulah layar yang membawanya berlayar. Barang siapa berjalan di
jalan toriqot, maka hendaklah ia berdzikir, bermujahadah, dan menyerahkan diri
kepada bimbingan guru. Karena tanpa jalan, perahu tiada bergerak.” Maka Nuaiman
pun bersuluk, berdzikir siang dan malam, menundukkan hawa nafsunya, sehingga ia
berlayar di samudera ruhani. Setelah beberapa lama, terbukalah sedikit tabir
pada hati Nuaiman. Maka dilihatnya cahaya di dalam kalbunya, hingga ia
terheran-heran. Berkata ia kepada gurunya: “Wahai tuan guru, inikah tujuan
hamba? Cahaya apakah yang datang ini?” Maka jawab sang mursyid sambil tersenyum:
“Hai anakku Nuaiman, itulah hakikat. Ketahui olehmu, tiada sesuatu pun yang
berdiri dengan dirinya, melainkan Allah jua yang berbuat. Engkau, aku, dan
segala yang ada, hanyalah bayangan belaka. Yang Hakiki hanyalah Dia.” Maka
menangislah Nuaiman, habis luluh segala keakuan dalam dirinya. Maka setelah
sekian lama, sampailah Nuaiman kepada maqam makrifat. Adapun ia memandang segala
makhluk dengan kasih, memaafkan yang memusuhi, dan bersyukur atas yang
menyayangi. Maka tiada ia melihat sesuatu, melainkan di situ rahasia Allah
Ta‘ala. Berkata gurunya: “Hai Nuaiman, ketahuilah olehmu: syariat itu berdiri,
toriqot itu berjalan, hakikat itu melihat, makrifat itu sampai. Maka keempatnya
bukan bersilang jalan, melainkan satu bulat yang sempurna.” Maka semenjak itu,
hidup Nuaiman sederhana. Adapun ia tetap mengerjakan syariat, tetapi hatinya
senantiasa hadir bersama Allah. Orang banyak melihat wajahnya sejuk, tutur
katanya lembut, dan daripadanya memancar cahaya cinta. Maka tamatlah hikayat
ini, mudah-mudahan jadi ibarat bagi orang yang mencari jalan, agar tiada
terputus antara syariat, toriqot, hakikat, dan makrifat. ---
Karya :Nona Robi'ah
Antara Kosong (Pantun)
Di tepi danau cahaya bergetar,
ombak berlari menuju tepian.
Kosong terasa hening membakar,
menyisakan tanya siapa dirian.
Bunga merekah di kala pagi,
harum menebar tanpa diminta.
Kosong bukan sekadar sunyi,
ia rahasia tanpa bentuk rupa.
Lalang bergoyang diterpa angin,
suara semesta pun ikut berdendang.
Kosong adalah pintu hening,
tempat Sang Ada merajut terang.
Burung terbang ke ufuk barat,
bayang hilang ditelan mega.
Kosong membawa rasa yang dekat,
meski tiada, justru penuh makna.
Mentari jatuh di kaki senja,
warna langit larut berjelaga.
Kosong mengajar jiwa membaca,
bahwa hakikat bukanlah kata.
Bintang berkelip di langit kelam,
cahaya kecil menuntun arah.
Kosong menyatu dengan alam,
antara tiada dan ada berpadu indah.
---
Karya :em shalahudin
Kopinya Para Sufi (Cerpen)
Di sebuah pondok kecil di pinggir desa, berkumpullah sekelompok sufi setiap petang. Mereka duduk melingkar di sekitar meja kayu tua, dengan secangkir kopi hangat di tangan masing-masing. Aroma kopi yang menguar seakan menjadi pengikat tali persaudaraan mereka, dan setiap tegukan membawa kedamaian yang dalam.
“Kopi ini bukan sekadar minuman,” kata salah satu sufi bernama Hasan sambil tersenyum. “Ia adalah pelajaran. Seperti hidup, kopi ini pahit jika diseruput tanpa kesabaran, tapi ia akan terasa manis bagi mereka yang mampu menghargai prosesnya.”
Para sufi pun saling bertukar cerita. Ada yang berbagi tentang ujian hidup yang baru saja dilewati, ada yang menceritakan pengalaman menemukan kedamaian dalam kegelisahan, dan ada pula yang berbagi ilmu tentang ketulusan hati.
Salah seorang dari mereka, Sulaiman, membuka pembicaraan. “Kalian tahu, dulu aku pernah marah dan kecewa pada hidup. Tapi ketika aku belajar memaknai setiap rasa, seperti kopi ini, aku mengerti bahwa segala kepahitan itu sebenarnya adalah guru terbaik.”
Hasan mengangguk. “Benar. Kopi yang kita seduh dengan sabar mengajarkan kita bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Ia tumbuh perlahan, dari ketekunan dan keikhlasan.”
Malam semakin larut, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Secangkir kopi terakhir diseruput dengan khidmat, membawa ketenangan dalam jiwa mereka.
“Di sinilah letak keindahan hidup,” kata Hasan menutup pertemuan. “Ketika kita bisa menerima semua rasa—pahit dan manis—dengan hati yang terbuka, kita menjadi lebih dari sekadar manusia biasa. Kita menjadi sufi sejati, yang selalu mencari cahaya dalam gelap.”
Mereka tersenyum dan diam, membiarkan kopi dan suasana membawa kedamaian ke dalam setiap jiwa.
---
Karya : em shalahudin
23/09/2025
Gus Jakfar (Cerpen)
Oleh A. Mustofa Bisri Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren
"Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling
menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai
saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar
hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan
sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang
dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya
yang satu itu. "Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita
Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera
bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya." "Tapi, Gus
Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti
pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening
orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat,
Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu,
sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar
bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?' Tak
lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya." "Kang Kandar kan juga
begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar
bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok
sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata besoknya Kang
Kandar meninggal." "Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut
Ustadz Kamil, "Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar."
"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah
kepingin ikut bicara. "Waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang
kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?'
Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok
harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi."
"Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya
asyik mendengarkan. "Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru
takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya
terganggu." *** Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun
geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi
tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat
dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika
kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali
berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan
isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan
keistimewaannya. "Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang
itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa
gerangan yang terjadi pada beliau?" "Ke mana beliau pergi saat menghilang pun,
kita tidak tahu," kata Lik Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi,
mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau
kemudian berubah." "Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil.
"Paling tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa
deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari
ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini
hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja
menemui beliau." Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis
wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri
kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan
merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena
kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut. Setelah ngobrol
ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama
kedatangan rombongan: "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami
datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan
sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan." "Perubahan apa?"
tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini
ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah." "Dulu sampeyan kan biasa dan suka
membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak
pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau." "O, itu," kata
Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan
bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia
melanjutkan, "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar,
tapi kami diam saja. "Kalian ingat, saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar
bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka
serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya
disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng
gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai
Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang
kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada
beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing." "Terus terang,
sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan
kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa
pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi
dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana,
hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal.
Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi
petunjuk." 'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti
nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang.
Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah,
kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk
yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas
gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas
sebut Kiai siapa tadi?' 'Kiai Tawakkal.' 'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah
orangnya, Mbah Jogo.' "Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang
sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu." "Dan betul, di gubuk
bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah
Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima
dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan
kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan
sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua
matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua
kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah." Tiba-tiba
Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya
ada satu hal yang membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening
beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan
dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'. Astaghfirullah! Belum
pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak
mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal
wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli
neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah
ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan
belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu.
Gila!" "Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara
lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan
untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya amati
perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal mencurigakan.
Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang
lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha,
tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar);
mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau keluar,
biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali-
mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam
tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin
yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata
mereka." "Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya
mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal
keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya
yang selama ini mengganggu saya." "Begitulah, pada suatu malam purnama, saya
melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut,
tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya.
Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi
juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus
berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini
yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin
berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang."
"Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian
saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat
justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali.
Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu.
Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua-
dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke
sana kemari. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung
biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan
kemesuman ini. 'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak
asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya
hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul,
mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan
kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang
saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita
menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang
disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!' Lalu, kepada
orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, 'Ini kawan
saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'.
Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya
dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan". "Saya masih belum
sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya
dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi
satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke
dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini!
Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk." "Kiai Tawakkal
kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan saya bengong
sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang
terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab
dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang
disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja
disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda
tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah
mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba
sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah." 'Mas, sudah larut
malam,'tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita pulang,
yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami,
berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung,
saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal
tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. 'Biar cepat, kita mengambil
jalan pintas saja!' katanya." "Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan
akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian
yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai,
seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah
saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung saya
bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar.
Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon
randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya
yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita
sudah sampai pondok.' Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan
suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa
yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di
kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat
tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai
rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi
itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara.
'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda
"Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti
yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang
kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua,
kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka
terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk
memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan
alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke
sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi
kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita
ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita
tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun
berasal dari-Nya. Bukankah begitu?' Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai
Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih
berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa
anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti
mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau
bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung
membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan
kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi
bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak' Malam itu saya
benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama
ini sudah saya ketahui. 'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar
lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa
diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini."
"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi.
Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah
surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu
dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi,
jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun
dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang,
seseorang menghampiri saya. 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya
mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi
barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik
sampeyan.' 'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru. 'Mana saya tahu?' jawabnya.
'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana
beliau datang dan ke mana beliau pergi.' Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal
alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan
misteri." Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk
mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan
suguhannya. Rembang, Mei 2002 A. MUSTOFA BISRI adalah Wakil Rais Aam PBNU. Lahir
di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini
adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin. Dikenal sebagai penyair,
pelukis, cerpenis dan kolumnis. “Gus Jakfar” adalah cerpen terbaik harian Kompas
tahun 2004. Sumber: https://www.nu.or.id/cerpen/gus-jakfar-GHshx ___ Download NU
Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap! https://nu.or.id/superapp
(Android/iOS)
Peringatan - Wiji Thukul (Puisi)
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subvertif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata : LAWAN!.
https://www.detik.com/jabar/berita/d-6692352/13-puisi-populer-karya-penyair-legendaris-indonesia
Sunyi Sunyata (Puisi)
Di ruang hening, sunyi berselimut kabut Angin berbisik lirih, membawa rindu
terpendam Sunyata menyapa, dalam diam yang menggunung Jiwa merambah
lorong-lorong sepi tanpa tepi Langit kelam tak bertepi, bintang-bintang pun
meredup Bumi membisu, tak lagi bersuara Kita adalah partikel debu dalam jagat
sunyi Mencari makna di antara nada-nada yang tak terucap Sunyi bukanlah
kesendirian Sunyata bukanlah kekosongan Ia adalah samudra kesadaran Tempat semua
pertanyaan berlabuh Di sini, waktu pun lunglai Masa lalu dan nanti melebur
menjadi satu Dalam hening, kita mendengar denyut alam raya Dalam kosong, kita
menemukan diri yang sejati Sunyi sunyata adalah cermin Di mana kita berhadapan
dengan diri sendiri Tanpa topeng, tanpa kata dan tanpa makna Hanya ada kejujuran
yang membisu Maka biarlah kita tenggelam dalam sunyi Merangkul sunyata tanpa
rasa takut Karena di balik kesenyapan yang abadi Terdapat cahaya yang tak pernah
padam
*20 Mei 2025 *
Karya: Em Salahudin
Langganan:
Komentar (Atom)
-
Di ruang hening, sunyi berselimut kabut Angin berbisik lirih, membawa rindu terpendam Sunyata menyapa, dalam diam yang menggunung Jiwa meram...
-
Oleh A. Mustofa Bisri Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Ja...
-
Alkisah, di sebuah negeri, hiduplah seorang lelaki bernama Ubay. Ia adalah ahli maksiat yang tak pernah kapok. Setiap kali bertaubat, keesok...